Untungnya Membeli Property di Indonesia

Membeli properti di Indonesia tanpa risiko dan harganya selalu naik di atas inflasi.
Salah satu sektor yang terpukul oleh krisis keuangan global yang dipicu skandal subprime mortgage di Amerika Serikat (AS), adalah bisnis properti. Krisis itu membuat likuiditas mengetat, suku bunga naik, ekonomi melesu, dan orang-orang kehilangan pekerjaan. Para pengamat meramalkan, krisis akan berlangsung selama 2 – 3 tahun. Karena itu bank-bank memperketat penyaluran kredit. Saat ini properti bukan pilihan atau bisnis yang menarik. Betulkah?

Panangian Simanungkalit, Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), dengan tegas menolaknya. “Properti tetap menarik karena suplainya selalu lebih rendah dibanding permintaan,” katanya dalam diskusi “Prospek Bisnis Properti 2009” yang digelar HousingEstate di Jakarta, 18 Desember 2008. Turut berbicara CEO Bakrieland Development Hiramsyah A Thaib, Direktur KSO Summarecon Serpong Sharif Benyamin, dan Change Management Office Coordinator Bank BTN Sasmaya Tuhuleley.
Menurut Panangian, saat ini bunga deposito rata-rata 11 persen. Dikurangi pajak 20 persen, return bersih-nya hanya 8,8 persen. Dibanding inflasi 2008 yang mencapai 11,3 persen, deposan menerima return negatif dari simpanannya. “Bandingkan dengan properti yang return-nya tidak pernah di bawah 10 persen,” ujarnya. Properti juga terbebas dari risiko bisnis, inflasi, dan fluktuasi bunga. Bahkan, kenaikan nilainya selalu di atas inflasi.
Risiko properti hanya likuiditas, tidak serta merta bisa diuangkan. “Tapi, liquidity risk properti itu moderat. Soalnya, dilepas dalam situasi mendesak pun harganya tidak akan di bawah nilai perolehannya,” katanya. Properti bisa dibeli dengan sedikit modal (10 – 30 persen dari nilai jualnya). Sisanya dari kredit bank. Tidak seperti deposito, saham, dan emas yang harus dibeli dengan modal penuh.

Anomali
Properti juga menarik karena ada anomali (fenomena yang sulit dijelaskan secara rasional) di Indonesia. Dalam situasi uang ketat harga properti mestinya turun atau minimal stagnan. Terlebih harga bahan bangunan sudah turun. Dan, itu terjadi di berbagai negara. Harga propertinya berfluktuasi mengikuti situasi ekonomi. “Tapi, tidak di Indonesia. Propertinya selalu naik dalam situasi apapun. Orang tidak mau jual rumahnya kalau lebih rendah dibanding waktu dia beli,” kata Panangian.
Pendapat senada diutarakan Hiramsyah. Dengan sampel harga apartemen di Rasuna Epicentrum, harga emas dunia, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 1999 - 2008, ia menyebutkan rata-rata capital gain properti mencapai 17,7 persen/tahun dibanding saham dan emas yang hanya 11,7 persen dan 9,4 persen. Pada periode yang sama, yield properti juga lebih tinggi dibanding deposito, yaitu 13,4 persen berbanding 12,3 persen.
Properti pun cukup likuid sepanjang dikembangkan dengan perencanaan yang baik di lokasi yang tepat. Rasuna Epicentrum berkembang dari semula hanya 11 ha menjadi 56 ha. Apartemen yang sudah dikembangkan mencapai 16 menara. “Semuanya laku. Banyak yang membeli dua atau tiga unit. Unit-unit itu mudah disewakan dengan yield rata-rata 12 persen per tahun. Jadi, siapa bilang properti tidak likuid?” katanya.
Selain tidak pernah turun, kenaikan nilai properti juga stabil. Berbeda dengan saham, emas, dan deposito yang fluktuatif. “Jadi, risiko properti hampir tidak ada. Ini yang membuatnya selalu menarik,” tambahnya. Misalnya, tahun 1999 capital gain apartemen di Rasuna Epicentrum hanya 12 persen, tapi tahun lalu sudah 26 persen. Kenaikan tertinggi terjadi tahun 2005 (32 persen), terendah tahun 2001 (11 persen).
Menurutnya, tingginya pertumbuhan capital gain itu karena properti di Indonesia masih undervalue. Harga apartemen di Jakarta misalnya, rata-rata baru 993 dolar AS/m2, di Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Shanghai, dan Seoul sudah 1.400 – 4.000 dolar AS, dan di Singapura, Mumbai, Tokyo, serta Hong Kong 10.000 – 12.500 dolar AS. “Jadi, properti kita masih akan tumbuh tinggi. Itulah kenapa sejumlah investor global seperti Orix Corporation, Emaar Properties, Keppel Land, Limitless, dan Kingdom Hotels Investments masuk ke sini,” katanya.

Menarik investasi langsung
Hal itu dibenarkan Sasmaya. Kapitalisasi bisnis properti kita masih sangat rendah. Harganya pun masih sangat murah. “Itu terlihat dari rasio penyaluran KPR terhadap PDB yang baru 1,4 persen. Bandingkan dengan AS yang sudah 45,3 persen, atau Malaysia yang 27,7 persen. Jangan heran begitu terjadi krisis subprime mortgage, AS langsung klenger. Jadi, bisnis properti kita masih jauh dari mature,” katanya.
Karena itu tidak ada alasan perbankan, pengembang, dan konsumen menghindari properti. Tapi, ia menyarankan pengembang untuk tidak terlalu tergantung pada bank melainkan pasar modal, karena dananya lebih murah, lebih besar, dan lebih sustainable. “Kalau masih mengandalkan dana bank, bisnis properti sulit besar,” tambahnya. Untuk itu pengembang perlu berbenah menjadi lebih profesional.
Sedangkan Hiramsyah berharap pemerintah melansir kebijakan yang mampu mendorong bisnis properti tumbuh lebih tinggi. Salah satunya adalah regulasi kepemilikan properti bagi orang asing yang lebih menarik. Ia memberi contoh Malaysia yang melansir regulasi mengenai hal itu pada 21 Desember 2006. “Setelah itu penanaman modal asing di negara itu naik tajam dari hanya 4,5 miliar dolar AS tahun 2006 menjadi 12,5 miliar dolar tahun 2007,” katanya.
Dengan membeli properti di sebuah negara, konsumennya terdorong tinggal lebih lama dan berbisnis di negara itu. Ia sendiri memandang positif krisis saat ini bagi bisnis properti. Pengembang akan terseleksi, dan itu menguntungkan konsumen. Hanya yang kreatif, inovatif, dan punya komitmen tinggi yang akan bertahan. “Yang berhasil melewati krisis akan menjadi yang pertama menikmati benefitnya,” katanya.
Sementara Panangian berpendapat, kalau di sini ada semacam housing finance system seperti di Thailand, mestinya bisnis properti tidak terlalu terpengaruh krisis. “Saat bunga naik secara otomatis periode KPR diperpanjang, begitu bunga turun periode angsuran diperpendek,” katanya. Begitu pula kalau Bank Indonesia (BI) bisa menahan kenaikan BI rate, bisnis properti tidak akan terlalu slow down. “BI memang sudah menurunkan lagi BI rate mulai akhir Desember 2008. Tapi, ada time lag bagi bank untuk mengikutinya,” paparnya. Yoenazh K Azhar

Perbandingan Yield Properti Di Sejumlah Kota Dunia

Nama Kota Negara Yields (%)
Jakarta
Manila
Kuala Lumpur
Seoul
Bangkok
Tokyo
Shanghai
Mumbai
Singapura Indonesia
Filipina
Malaysia
Korea Selatan
Thailand
Jepang
China
India
Singapura 13,40
11,23
8,91
8,75
7,64
4,69
4,36
3,27
2,80


Sumber: Global Property Guide, Maret 2008


Return Properti di Indonesia (%)

Jenis Yield Capital Gain Return
Kaveling
Rumah
Ruko/Rukan
Kios
Kantor
Apartemen 0,5 – 2
3 – 5
6 – 9
5 – 10
7 – 10
7 – 12 5 – 15
10 – 18
8 – 12
8 – 15
7 – 12
6 – 10 5,5 – 17
13 – 23
14 – 21
13 – 25
14 – 22
13 – 22


Sumber: Pusat Studi Properti Indonesia, Desember 2008


Summarecon Serpong
Tunai Atau KPR Jangka Pendek
Dalam situasi seperti sekarang Panangian menyarankan membeli properti secara tunai. “Tahun 2007 – 2008 adalah buyer’s market karena demand lebih rendah dibanding supply. Jadi, bagi pemilik duit ini saatnya membeli. Pengembang sedang butuh likuiditas dan konsumen dapat banyak keringanan,” katanya. Sebaiknya beli saat pre-launching atau pre-construction.
Yang penting lokasinya di daerah yang masih berkembang di dalam atau di pinggir kota, mudah diakses, dekat dengan interest area (bisnis, perkantoran, perdagangan, industri, pendidikan, dan hiburan), dan dikembangkan pengembang bereputasi baik. “Membeli properti adalah kombinasi kepiawaian memilih momentum, lokasi dan bentuk pembiayaan,” ujarnya.
Bila selisih (spread) antara bunga deposito dan kredit tinggi (melebihi lima persen), beli secara tunai keras. Kalau spread-nya moderat (4 – 5 persen), beli secara tunai bertahap, dan bila spread-nya rendah (di bawah tiga persen) beli secara kredit. Kalau harus membeli secara kredit, periodenya pendek saja (di bawah lima tahun) kalau spread bunga tinggi, 5 – 10 tahun bila spread moderat, dan lebih dari 10 tahun jika spread rendah.
Saat ini ada kecenderungan bunga pasar menurun menyusul ekspektasi inflasi yang rendah (di bawah satu digit) tahun 2009. “Karena itu sebaiknya ambil bunga KPR efektif floating (mengambang). Tapi, kalau bunga cenderung naik, ambil bunga fixed 1 – 2 tahun,” katanya. Sementara Benyamin menyarankan membeli dengan KPR, karena nilai cicilannya makin menurun, sedangkan nilai rumah makin naik. Bunga KPR 16 persen masih cukup baik untuk membeli rumah.


Sharif Benyamin
Benar-Benar Pengembang
Menurut Benyamin, bisnis properti akan selalu menarik sepanjang dikembangkan dengan komitmen yang tinggi. Komitmen melahirkan reputasi, reputasi menumbuhkan kepercayaan. Kalau sudah ada kepercayaan, konsumen akan mudah diyakinkan. Ia mencontohkan pengalamannya melansir kawasan Scientia Garden (100 ha) di Summarecon Serpong, Tangerang-Banten.
Saat akan di-launching awal November 2008 situasi ekonomi memburuk. Karena itu tahap awal ia hanya menawarkan 50 rumah dan 30 ruko. “Jujur saja, kita sendiri tidak terlalu yakin,” katanya. Tapi, 400 calon konsumen mendaftar. Tapi, ia tidak keburu senang karena ada budaya “bebek” pada konsumen kita. Satu orang tidak jadi membeli, yang lain akan ikut. “Jadi, kita tetap sport jantung,” lanjutnya.
Namun, saat launching tanggal 8 November 2008 hasilnya mengejutkan. Sekitar 300 rumah dan ruko terjual pada hari itu. Kenapa bisa? “Selain karena berkah Tuhan, kita sudah punya nama dan faktor lokasi,” jawabnya. Lokasi boleh bagus tapi kalau komitmen developernya kurang, proyek tidak akan berkembang. Di sini ada dua tipe pengembang: real developer dan trader.
Trader hanya ingin menjual, sedangkan developer ingin mengembangkan sesuatu, bukan sekedar menjual. Dan, itu sering tidak mudah. “Saat Universitas Multimedia Nusantara datang ke Summarecon Serpong, mereka bilang butuh lahan 11 ha. Tapi, kita hanya kasi enam hektar sesuai rencana pengembangan kita. Kalau hanya berpikir duit mestinya kita kasi saja 11 ha,” tuturnya.
Di pihak lain karena tahu universitas yang dibidani pemilik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama itu, tidak mungkin membangun kampusnya secepat yang dibayangkan, pengembang mengalah dengan membangun Plaza Summarecon sebagai kampus sementara. “Walhasil mahasiswanya langsung 500 orang. Tahun ini sudah 1.000,” ujarnya.

Merusak harga
Cerita berlanjut. Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, awalnya tidak diminati orang. Tapi, berkat komitmen, ketekunan, dan konsistensi Summarecon Agung mengembangkannya, akhirnya kawasan itu berubah menjadi kota dalam kota. Pengembang untung, konsumen untung. Sekarang harga tanah di Kelapa Gading sudah sangat tinggi. Yang tertinggi di Bukit Gading Villa, sekitar Rp15 juta/m2.
Contoh lain, kawasan Pondok Hijau Golf (100 ha) di Summarecon Serpong yang di-launching Juni 2006. Cluster pertamanya Jade. Ada yang membeli rumah seken di situ seharga Rp1,5 miliar. “Temannya bilang, lu goblok amat. Itu rumah waktu di-launching hanya Rp700 juta. Dia pun menyesal. Tapi, beberapa bulan kemudian ada yang menawar Rp1,8 miliar. Dia tidak jadi menyesal,” katanya.
Bisa juga lokasi dan developer sudah bagus, tapi konsumennya tidak kooperatif, proyek juga tidak akan berkembang optimal. “Jadi, karakter konsumen pun menentukan. Ada yang cuma punya Rp50 juta mau beli tiga. Ini yang merusak harga,” katanya. Karena itu konsumen juga diseleksi dan dibatasi maksimal hanya boleh membeli dua unit.
“Itu kita jalankan konsisten. Kalau hari ini dia beli dua, terus dia jual lagi, kita penalti. Buahnya luar biasa. Yang membeli akhirnya benar-benar konsumen atau investor. Karena itu di Kompas jarang sekali rumah di Summarecon Serpong yang diiklankan pembelinya. Kebanyakan rumah kita dihuni,” ujarnya. Sebagai bukti ia menunjuk pembangunan Mal SMS.
Summarecon Serpong dikembangkan mirip Kelapa Gading dengan sedikit penyesuaian. Jadi, pengembangan permukiman selalu diiringi dengan pembangunan fasilitas komersial. “Waktu kita mau bangun mal kita dibodoh-bodohi. Mereka bilang, you nggak lihat itu mal-mal di Jl Raya Serpong sepi semua? Ini mau bangun mal di dalam. Tapi, terbukti mal kita sukses. Jumat, Sabtu, Minggu sulit cari parkir. Okupansinya sudah 100 persen,” ungkapnya.
Contoh berikutnya, Sekolah Pahoa. Yayasannya baru jadi Desember 2007, tapi Januari sudah melakukan pemancangan bangunan dan Februari melansir penerimaan murid. “Kita bertanya, apa mungkin Juni bangunan selesai dan murid bisa sekolah? Biasanya kan orang cari murid November – Desember. Ternyata sekolah itu sampai harus menolak murid,” katanya.

Servis
Servis juga menjadi perhatian. Biasanya servis hanya difokuskan pada calon konsumen. Tapi, begitu orang sudah beli dan komplain, pengembang tidak melayaninya. “Kita tidak begitu. Kalau ada komplain kita layani dan carikan solusi. Untuk itu kita adakan estate management. Ini pekerjaan pusing tapi harus dilakukan karena pengaruhnya luar biasa. Semacam MLM, marketing lewat mulut. Contohnya, penjualan 8 November itu,” ujar Benyamin.
Summarecon juga konsisten melarang alih fungsi rumah. Rumah tidak boleh diubah menjadi praktik dokter, warung, dan lain-lain. “Ngapain mahal-mahal menyewa perancang kalau rumahnya jadi warung semua?” katanya. Dengan konsistensi dan komitmen yang tinggi itu, penjualan Summarecon Serpong tahun 2007 bisa dua kali penjualan 2006, dan penjualan 2008 naik 50 persen dibanding 2007.
“Kita menjadi perumahan dengan realisasi KPR paling tinggi dari BCA dan NISP di Serpong,” katanya. Bagaimana dengan tahun ini? Menurutnya, umumnya orang Indonesia menyukai properti bukan hanya karena pertimbangan ekonomis, tapi juga karena mereka suka menabung. Salah satunya pada properti karena harga properti selalu naik dan membuat orang makin kaya.
Properti juga bisa digunakan dan disewakan. Bukti kecintaan pada properti itu, kalau terjadi krisis mereka tidak langsung menjual rumahnya tapi aset yang lain. Kalau tidak ada lagi yang bisa dijual, mereka minta bantuan kerabat dulu. Sekarang tinggal bagaimana meyakinkan para pemilik uang itu, bahwa properti lebih menarik ketimbang deposito dan menawarkan produk yang baik.
Di Summarecon Serpong sekitar 60 persen konsumennya membeli tunai. Hal yang sama terjadi di Bogor Nirwana Residence (1.200 ha) yang dikembangkan Bakrieland. “Yang membeli dengan KPR tinggal 40 – 50 persen dari semula 70 persen,” kata Hiramsyah. Keduanya menyarankan konsumen yang sudah memiliki uang untuk segera membeli properti. “Kalau terus ditunda, harga rumah akan terus naik,” tukas Benyamin
Share on Google Plus

About nowoadhi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment