Bagi yang belum pernah membeli rumah bisa jadi belum paham benar apa itu KPR, meskipun sudah sangat sering mendengarnya. KPR=Kredit Pemilikan Rumah memang merupakan salah satu jenis fasilitas pinjaman Bank yang sangat membantu masyarakat untuk bisa memiliki rumah meskipun tidak memiliki uang dalam jumlah besar. Bagaimana mekanisme dan cara mendapatkan fasilitas KPR tersebut?
KPR adalah fasilitas pinjaman yang disediakan lembaga keuangan (bank dan nonbank) untuk membiayai pembelian properti seperti rumah, apartemen, rumah susun sederhana milik (rusunami), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), kios, dan lain-lain.
Fasilitas KPR muncul karena kebanyakan orang tidak mampu membeli rumah secara tunai. Dengan KPR konsumen cukup melunasi sebagian dari harga rumah yang disebut uang muka atau down payment (DP), sisanya ditalangi bank. Dalam hal ini bank disebut kreditor (pemberi pinjaman), konsumen disebut debitor (penerima pinjaman). Konsumen melunasi kredit itu plus bunganya secara mencicil ke bank selama jangka waktu tertentu.
Nilai dan periode KPR
Yang bisa dibiayai dengan KPR bukan hanya rumah baru tapi juga rumah seken, rumah take over (diambil alih kelanjutan KPR-nya dari debitor awal), KPR pindahan dari bank lain, rumah yang dibangun sendiri, dan renovasi rumah. Plafon KPR antara 70 – 90 persen dari taksiran nilai rumah. Jadi, konsumen harus membayar tunai 10 - 30 persen sebagai DP. Jangka waktu KPR antara 5 – 20 tahun.
Agunan KPR
Tentu saja bank tidak mau begitu saja memberikan KPR. Bank butuh jaminan, bahwa kredit yang telah diberikannya akan dikembalikan. Dalam hal ini agunannya adalah rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR itu. Jadi, untuk sementara bukti kepemilikan atas tanah dan rumah dikuasai bank sampai KPR lunas. Sebab itu KPR sering juga disebut hipotik (kredit dengan jaminan barang tak bergerak).
Tidak hanya itu. Terhadap tanah dan rumah yang pembeliannya dibiayai KPR itu, bank juga membebankan hak tanggungan. Yaitu hak yang menjamin bank akan menerima pelunasan terhadap kredit yang disalurkannya. Dengan hak tanggungan, bila kredit macet bank berhak mengeksekusi tanah/rumah yang diagunkan. Untuk itu pada saat kredit diberikan, debitor diminta meneken akta pemberian hak tanggungan (APHT).
Akad kredit
Transaksi rumah dengan KPR sama dengan transaksi tunai. Pembeli dan penjual rumah meneken akta jual beli (AJB) di hadapan notaris/PPAT. Hanya karena sebagian pembayarannya memakai duit bank, transaksi dilanjutkan dengan akad kredit antara bank dan konsumen. Setelah itu baru penjual (developer) menerima pembayaran dari bank senilai KPR yang diambil konsumen.
Untuk rumah yang sudah jadi atau siap huni bank akan mencairkan KPR setelah debitor dinilai memenuhi syarat. Tapi, untuk rumah inden atau rumah yang masih berbentuk gambar (presale), bank akan menunggu progress pembangunannya mencapai persentase tertentu, baru melakukan akad kredit. Bisa juga bank mencairkan KPR (langsung atau bertahap) untuk rumah presale, karena misalnya, sudah mengenal baik reputasi bisnis (track record) developer, atau ada garansi developer bahwa pembayaran KPR akan lancar.
KPR lebih aman
Rumah yang dibeli dengan KPR jauh lebih mahal ketimbang yang dibeli tunai. Pasalnya, debitor harus membayar bunga untuk kredit yang diterimanya. Makin panjang periode KPR makin besar bunga yang dibayar. Tapi, membeli rumah dengan KPR jauh lebih aman, karena transaksi biasanya dilakukan berdasarkan AJB di hadapan notaris/PPAT, tidak bisa di bawah tangan.
PPAT akan mengecek keabsahan legalitas tanah dan rumah yang ditransaksikan sebelum mengesahkan transaksi. Bila rumah dibeli dari developer, tanah harus sudah bersertifikat dan dipecah dari sertifikat induk. Pengecekan serupa akan dilakukan bank. Kalaupun transaksi dilakukan di bawah tangan, misalnya berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) antara konsumen dan developer, dan sertifikat tanah masih dalam proses pemecahan, bank tetap akan melakukan pengamanan.
Antara lain dengan memastikan track record developer serta data teknis tanah/bangunan dan keabsahan legalitasnya. Bank sangat berkepentingan karena rumah itu akan menjadi jaminan kredit. Semua itu meminimalisir kemungkinan konsumen dirugikan developer. Misalnya, rumah yang dibeli bermasalah atau tidak dibangun.
KPR lebih menguntungkan
Membeli rumah dengan KPR juga lebih menguntungkan ketimbang secara tunai. Dengan sedikit uang muka, kita sudah bisa punya rumah sendiri. Bahkan, kendati punya uang tunai memadai, tetap lebih baik memakai KPR. Misalnya, Anda punya Rp200 juta dan hendak membeli rumah seharga Rp200 juta juga. Dengan uang muka Rp60 juta, kita masih punya Rp140 juta yang bisa ditabung dan memberikan hasil bunga.
Anda kehilangan pendapatan bunga itu bila semua uang dipakai melunasi rumah. Memang, kita harus membayar bunga dan biaya lain bila mengambil KPR. Tapi, beban bunga itu akan tertutupi oleh kenaikan nilai rumah yang bisa melebihi tingkat bunga KPR. Sebutlah dengan KPR Rp140 juta, cicilan (pokok+bunga)-nya Rp2 juta/bulan selama 10 tahun (120 bulan).
Dengan asumsi meningkat 10 persen/tahun, 10 tahun kemudian nilai rumah akan menjadi Rp400 juta. Padahal, nominal cicilan yang harus dibayar selama 120 bulan hanya Rp240 juta. Bayangkan juga kalau uang Rp200 juta itu hanya ditabung. Dengan bunga net enam persen/tahun, uang itu akan berbiak menjadi Rp320 juta dalam 10 tahun atau tidak cukup untuk membeli rumah yang sama.
Bahkan, bagi investor properti fasilitas KPR bisa membuat kaya. Ilustrasi dari seorang konsultan KPR berikut ini mungkin bisa memperjelas. Katakanlah Anda memiliki income Rp15 juta dan pengeluaran Rp7 juta sehingga ada surplus Rp8 juta/bulan. Anda juga punya tabungan Rp400 juta yang menghasilkan pendapatan bunga net lima persen/tahun atau Rp1,67 juta/bulan.
Anda berniat membeli rumah seharga Rp400 juta. Bila dibayar lunas, tabungan nol dan pendapatan bunga Rp1,67 juta itu hilang. Sebaliknya, kalau Anda hanya membayar DP Rp200 juta, sisanya Rp200 juta menggunakan KPR 10 tahun dengan bunga 13 persen, cicilannya Rp3 juta/bulan, penghasilan Anda masih surplus Rp5 juta.
Sementara tabungan Rp200 juta Anda pakai lagi untuk membayar uang muka apartemen tipe studio seharga Rp400 juta di pusat bisnis Jakarta. Kekurangan Rp200 juta dilunasi dengan kredit pemilikan apartemen (KPA). Dengan periode KPA 10 tahun dan bunga 13 persen, cicilannya juga Rp3 juta/bulan, sehingga surplus penghasilan Anda tinggal Rp2 juta.
Katakanlah apartemen laku disewakan Rp5 juta/bulan atau Rp60 juta/tahun. Surplus penghasilan Anda naik lagi menjadi Rp7 juta/bulan, ditambah aset rumah dan apartemen yang terus meningkat nilainya. Kekayaan itu tidak akan ada kalau semua tabungan dipakai melunasi harga rumah.
Blogger Comment
Facebook Comment