Tingkat bunga memang daya tarik utama sebuah KPR. Itu wajar karena makin murah bunga makin kecil cicilan yang harus dibayar setiap bulan. Saat naskah ini ditulis bunga KPR reguler berkisar antara 11,5 – 13,5 persen efektif floating. Tapi, sejumlah bank menawarkan bunga lebih rendah fixed selama beberapa tahun. Misalnya, 10 persen fixed satu tahun, 10,75 persen fixed dua tahun, 10,99 persen fixed tiga tahun, dan 12,5 persen fixed lima tahun. Bahkan, banyak yang menawarkan bunga satu digit (di bawah 10 persen).
Nikmati penawaran itu tapi jangan lupa mencermati term and condition-nya supaya tidak kecele. Pasalnya, setiap penawaran selalu disertai pembatasan. Misalnya, hanya berlaku selama periode tertentu dan untuk mereka yang sudah menjadi nasabah bank itu selama sekian tahun, hanya bisa diambil untuk pembelian rumah di perumahan yang dikembangkan developer yang bekerjasama dengan bank, hanya bisa diperoleh untuk pembelian rumah dengan DP minimal 30 persen, dan seterusnya.
Selain itu perhatikan juga kecenderungan bunga pasar. Kalau tren bunga cenderung menurun, sebaiknya ambil KPR dengan bunga fixed satu tahun saja. Pasalnya, kalau lebih dari itu Anda tidak bisa ikut menikmati penurunan bunga pasar itu, karena sudah “tersandera” bunga fixed tiga tahun misalnya. Indikator naik turun bunga bisa dilihat dari tren inflasi yang dipatok Bank Indonesia (BI). Kalau makin rendah, berarti bunga pasar juga cenderung turun. Sebaliknya, kalau bunga cenderung menaik karena inflasi meninggi, bagus mengambil KPR efektif floating fixed di atas satu tahun.
Antisipasi dini
Terlepas dari itu yang paling penting diantisipasi dari bunga murah itu, adalah potensi persoalan saat periode bunga tersebut berakhir. Bila saat itu bunga pasar turun, tak ada persoalan. Cicilan KPR Anda tetap. Tapi, kalau saat itu bunga KPR reguler masih sama dengan saat KPR berbunga murah itu diambil, bunga KPR Anda tentu akan disesuaikan, katakanlah dari semula 10 persen menjadi 13 persen. Dampaknya cicilan KPR meningkat. Yang gawat kalau saat periode bunga fixed itu berakhir bunga pasar naik. Cicilan KPR akan melonjak.
Misalnya, pada 15 April 2007 Anda membeli rumah Rp300 juta di salah satu perumahan yang bermitra dengan Bank A, dengan DP Rp100 juta dan KPR Rp200 juta. Periode KPR 15 tahun (180 bulan), bunga 9 persen efektif floating fixed satu tahun. Menurut perhitungan seorang praktisi KPR, dalam sistem bunga efektif angsuran pokok KPR itu adalah Rp200 juta : 180 bulan = Rp1.115.000 (dibulatkan)/bulan. Sedangkan angsuran bunga (Rp200 juta x 9%) : 12 bulan = Rp1.500.000/bulan. Jadi, cicilan KPR selama tahun pertama adalah Rp1.115.000 + Rp1.500.000 = Rp2.615.000/bulan.
Pada 15 April 2008 masa berlaku bunga fixed 9 persen itu berakhir. Katakanlah saat itu bunga KPR reguler bank A masih 12 persen. Sementara saldo KPR Anda tinggal Rp200 juta – (Rp1.115.000 x 12 bulan) = Rp186.620.000. Maka angsuran bunga pada tahun kedua adalah (Rp186.620.000 x 12%) : 12 bulan = Rp1.866.200/bulan. Dengan demikian cicilan selama tahun kedua adalah Rp1.115.000 + Rp1.866.200 = Rp2.981.200/bulan.
Dari situ terlihat, meskipun saldo pokok KPR pada tahun kedua sudah turun menjadi Rp186.620.000 dari semula Rp200 juta, cicilan (pokok + bunga) tetap naik dari Rp2,615 juta pada tahun pertama menjadi Rp2,981 juta/bulan pada tahun kedua. Bayangkan kalau pada tahun kedua bunga KPR bank A naik menjadi, katakanlah 14 persen, tentu cicilan KPR itu makin gede lagi.
Anda harus mengantisipasi hal itu. Caranya, sejak awal hitung cicilan dengan bunga KPR reguler, bukan bunga spesial. Pastikan cicilan dengan bunga reguler itu tidak melebihi sepertiga pendapatan Anda. Kalau ternyata cicilan lebih dari sepertiga gaji, tambah uang muka, perpanjang periode KPR, atau cari rumah yang lebih murah.
Profesi, usia, periode dan DP
Profesi perlu juga dipertimbangkan dalam memilih KPR. Bila Anda karyawan berpenghasilan tetap yang belum tentu setiap tahun naik gaji, sebaiknya ambil KPR dari bank dengan riwayat bunga relatif stabil, atau KPR dengan sistem bunga anuitas, atau KPR dengan bunga efektif fixed lebih dari setahun.
Kecuali Anda memiliki penghasilan sampingan yang memungkinkan menghadapi fluktuasi bunga, tidak apa-apa mengambil KPR dengan bunga efektif floating. Sedangkan bagi kaum profesional dan pedagang, KPR dengan bunga efektif floating tidak terlalu masalah, karena kemungkinan kenaikan bunga masih bisa diimbangi secara relatif dengan kenaikan penghasilan.
Begitu pula periode KPR, perlu disesuaikan dengan profesi dan penghasilan. Bagi yang berpenghasilan tetap ada baiknya mengambil periode maksimal, 15 - 20 tahun. Jadi, cicilan KPR bisa lebih kecil. Memang, total bunga yang harus dibayar sampai akhir masa KPR jadi lebih besar. Tapi, Anda bisa mempercepat pelunasan bila mendapat rezeki tanpa dikenai pinalti.
Seseorang dengan penghasilan Rp3,5 juta/bulan bisa memperoleh KPR Rp100 juta kalau periodenya 20 tahun. Dengan penghasilan yang sama tapi periode KPR 10 tahun, maksimal kredit yang bisa didapat hanya Rp79 juta.
Periode KPR terkait juga dengan nilai uang muka. Kalau DP kecil, plafon KPR akan lebih besar, dan periode KPR lebih panjang. Dalam hal ini patokannya tetap, berapapun DP dan periode KPR, cicilan tidak boleh melebihi 1/3 penghasilan bersih. Kalau dengan 1/3 penghasilan itu periode KPR tidak mungkin 10 tahun, minta 15 atau bahkan 20 tahun.
Cermati juga usia saat memilih jangka waktu KPR. Usia pensiun PNS misalnya, 55 tahun. Jadi, kalau seorang PNS mengajukan KPR pada usia 45 tahun, maksimal periode kreditnya hanya 10 tahun.
Sedangkan bagi kalangan berpenghasilan tidak tetap seperti pedagang, pilihan periode KPR amat tergantung pada jenis jasa dan usaha yang digeluti. Kalau usaha selalu butuh dana tunai, lebih baik mengambil KPR dengan periode cukup lama. Yang penting tingkat bunga KPR di bawah return usaha Anda.
Terakhir pilih KPR dari bank yang memiliki banyak cabang, profesional dalam penyaluran KPR, didukung sistem teknologi memadai. Jadi, Anda lebih mudah membayar cicilan, baik di kantor cabang atau melalui ATM. Kalau ada masalah dengan KPR Anda bank juga akan berupaya mencarikan solusinya dengan baik.
Blogger Comment
Facebook Comment